Tahun 1989 merupakan titik pemikiran ekonomi baru dengan harapan adanya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Sebagai sebuah konsep green economy memiliki tiga cita-cita tersebut, namun tentunya membutuhkan struktur yang kuat. Sehingga belakangan ini kemudian mengemuka istilah green finance, yang menjadi wahana baru bagi produk dan layanan keuangan yang mendorong investasi ramah lingkungan dengan sasaran pembangunan berkelanjutan.
Hal ini mendorong berlangsungnya perlombaan keberlanjutan. Komitmen ambisius dibangun perusahaan, investor, dan pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial dari operasi mereka.
Segala yang berbau “green” muncul sebagai instrumen keuangan, mulai dari green bond, green sukuk, green loan, hingga green fund. Pembiayaan ini dikhususkan pada aktivitas ekonomi yang mengutamakan penggunaan sumber daya alam yang efisien, rendah karbon, dan berkelanjutan, serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Harapan besarnya adalah green finance dapat menciptalan lapangan kerja yang layak, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan inklusi sosial.
Potensi green finance setidaknya dapat mengembangkan industri-industri berikut:
1. Pengembangan energi terbaru, sebagai Langkah mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang berpolusi dan berisiko habis;
2. Pengembangan pariwisata berkelanjutan, melalui pemanfaatan kekayaan alam dan budaya yang sekaligus melestarikan lingkungan dan mensejahterakan masyarakat lokal;
3. Pengembangan industri kreatif, dimana sumber daya manusia yang kreatif, inovatif, dan produktif mampu menciptakan produk dan jasa yang bernilai tambah unik, dengan daya saing yang kuat;
4. Pengembangan pertanian organic, sebagai solusi peningkatan kesejahteraan petani, kualitas pangan, dan kesehatan konsumen, sekaligus mengurangi dampak negatif pertanian konvensional terhadap lingkungan, seperti pencemaran, erosi, dan kerusakan habitat; dan
5. Pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sebagai solusi peningkatan efisiensi, transparan, dan aksesibilitas berbagai sektor ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perbankan, perdagangan, dan pemerintahan.
Transisi menuju green economy bukan tanpa risiko. Seperti termaktub dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021 – 2025) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan, perlu proses transisi yang tertata agar risiko yang terjadi dapat ditangani dengan baik. Setidaknya transisi yang mulus dihadapkan pada risiko-risiko physical risk, transition risk, dan liability risk.
Physical risk timbul akibat fenomena perubahan iklim yang dapat menimbulkan kerusakan properti, menurunkan produktivitas, dan mengganggu proses bisnis. Dalam proses transisi, terdapat risiko yang perlu dimitigasi (risiko transisi) seperti perubahan kebijakan, pengembangan teknologi, dan perilaku konsumen. Liability risk muncul dalam bentuk kerugian hukum dan klaim akibat tidak mempertimbangkan perubahan iklim. Sebagai otoritas, OJK akan menyelaraskan dengan aturan-aturan sesuai dengan standard setting bodies untuk memitigasi risiko yang muncul sehingga proses transisi ini tidak menimbulkan instabilitas ekonomi yang tidak diinginkan.
Bagaimana Sikap Entitas Bisnis
Mengutip dari sebuah artikel di Harvard Business Review, solusi-solusi baru pasti akan memicu hambatan pada sumber daya, infrastruktur, dan kemampuan yang menjadi andalan solusi-solusi tersebut. Meskipun pasokan sumber daya yang terkait dengan keberlanjutan ini akan meningkat karena investasi dan inovasi, dalam banyak kategori, pertumbuhan permintaan yang cepat kemungkinan besar akan melebihi pasokan, sehingga meningkatkan persaingan dan menaikkan harga.
Kondisi ini akan memicu periode kelangkaan yang didorong oleh keberlanjutan. Peluang dan risiko baru muncul menyusul potensi berubahnya dinamika persaingang di banyak industri. Carbon credit misalnya banyak diandalkan Perusahaan sebagai strategi utama jangka panjang berupa jembatan jangka pendek, dalam perannya dalam mengimbangi emisi gas rumah kaca. Kelangkaan di pasar atas ketersediaan pasokan akan diperburuk oleh efek gabungan dimana defisit dari tahun-tahun sebelumnya saling bertumpukan karena perusahaan-perusahaan berjuang untuk mengimbangi emisi yang ada saat ini dan yang sudah ada.
Peran Manajemen Risiko dalam Green Finance
Potensi dan risiko yang muncul dari Green Finance akan menjadi satu cabang Manajemen Risiko baru. Green finance dapat membantu mengidentifikasi dan mengelola risiko lingkungan yang terkait dengan investasi dan operasi bisnis. Identifikasi risiko lingkungan menjadi lebih mudah, termasuk mengkaitkannya dengan pengaruh pada kinerja keuangan dan reputasi perusahaan, seperti risiko peraturan, risiko pasar, risiko operasional, risiko kredit, dan risiko reputasi.
Manajemen risiko terbantu oleh green finance dalam mengelola risiko lingkungan dengan cara mengurangi, menghindari, atau mengalihkan risiko tersebut. Dengan menggunakan instrumen keuangan yang ramah lingkungan, seperti green bond, green sukuk, green loan, dan green fund, green finance dapat mendanai proyek-proyek yang berkontribusi terhadap perlindungan lingkungan, mitigasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.
Antisipasi dan adaptasi terhadap risiko lingkungan, termasuk didalamnya terhadap perubahan iklim, bencana alam, dan kekurangan sumber daya. Dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada solusi dan inovasi, green finance dapat mendukung pengembangan teknologi, produk, dan layanan yang ramah lingkungan, seperti energi terbarukan, transportasi massal, dan pengelolaan sampah.
Penulis
President Director at PT TAP Kapital Indonesia